Asal-usul Museum


Museum berasal dari bahasa Yunani: MUSEION.
Museion merupakan sebuah bangunan tempat suci untuk memuja Sembilan Dewi Seni dan llmu Pengetahuan. Salah satu dari sembilan Dewi tersebut ialah: MOUSE, yang lahir dari maha Dewa Zous dengan isterinya Mnemosyne.
Dewa dan Dewi tersebut bersemayam di Pegunungan Olympus. Museion selain tempat suci, pada waktu itu juga untuk berkumpul para cendekiawan yang mempelajari serta menyelidiki berbagai ilmu pengetahuan, juga sebagai tempat pemujaan Dewa Dewi.
Pengertian Museum dewasa ini adalah:
"Sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan pengembangannya, terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan kesenangan, barang-barang pembuktian manusia dan lingkungannya". (Definisi menurut ICOM = International Council of Museeum / Organisasi Permuseuman Internasional dibawah Unesco). Museum merupakan suatu badan yang mempunyai tugas dan kegiatan untuk memamerkan dan menerbitkan hasil-hasil penelitian dan pengetahuan tentang benda-benda yang penting bagi Kebudayaan dan llmu Pengetahuan.

Musem mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Pusat Dokumentasi dan Penelitian llmiah 2. Pusat penyaluran ilmu untuk umum 3. Pusat penikmatan karya seni 4. Pusat perkenalan kebudayaan antar daerah dan antar bangsa 5. Obyek wisata 6. Media pembinaan pendidikan kesenian dan llmu Pengetahuan 7. Suaka Alam dan Suaka Budaya 8. Cermin sejarah manusia, alam dan kebudayaan 9. Sarana untuk bertaqwa dan bersyukur kepada Tuhan YME.
Read More..

WARNA LOKAL DALAM FILM INDONESIA

PENGERTIAN warna lokal dalam film Indonesia bukan hanya film berdasarkan cerita rakyat di suatu daerah, melainkan juga film yang sepenuhnya menampilkan kultur daerah. Memang ada beberapa film yang melakukan "shooting" di daerah, misalnya di Pangalengan, Bandung, Pangandaran, tetapi tidak ada kaitannya dengan menampilkan unsur kedaerahan dalam pengertian budaya. Jika daerah tersebut dijadikan tempat lokasi, hanyalah untuk memanfaatkan alam atau suasana kota, yang sama sekali tidak bersentuhan dengan kehidupan daerah tersebut.
Berbeda dengan film "Laskar Pelangi" (2008), film terlaris sepanjang sejarah film Indonesia--bahkan terpilih sebagai Film Terpuji dalam Festival Film Bandung 2009--merupakan film yang kental dengan warna lokal. Bukan hanya karena sepenuhnya mengambil lokasi cerita di Belitong, melainkan juga dialeknya, suasana lingkungannya, budayanya, benar-benar membawa penonton larut dalam kisah yang terjadi di Belitong.

Munculnya warna lokal dalam film Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak kehadiran film cerita pertama yang dibuat di Indonesia. Pada tahun 1926, NV Java Film Company, yang berdiri di Bandung, membuat film cerita rakyat Tatar Sunda "Loetoeng Kasaroeng". Bahkan setahun kemudian, G. Krugers, pembuat "Loetoeng Kasaroeng", kembali menggarap film "Eulis Acih", dan "Karnadi Tangkap Bangkong".

Tahun 1928, Tan`s Film milik Tan Bersaudara, membuat film berdasarkan kisah legendaris dari Betawi "Nyai Dasima", yang disutradarai oleh Lie Tek Soei. Kisah lain dari Betawi yang dibuat film berjudul "Si Ronda" (1930) yang disutradarai oleh Bachtiar Effendi dan "Si Pitung" (1932).

Sekitar tahun 1930 - 1942, cukup banyak film Indonesia yang bersumber dari kekayaan cerita daerah atau film yang berlatar belakang budaya daerah. Tahun 1930, Tan`s Film membuat film "Bunga Ros dari Cikembang" produksi Cine Motion Picture yang disutradarai Tan Teng Chun alias Tachjar Ederis. Kemudian muncul film "Rencong Aceh" (1939), "Keris Mataram" (1941), "Ciung Wanara" (1941), "Mustika dari Jenar" (1942), "Nusa Penida" (1942), dan yang lainnya.

Patut dicatat pula sebuah film yang menampilkan pasangan Raden Muhtar asal Cianjur dan R. Sukarsih asal Cikoneng Tasikmalaya, judulnya "Pareh" (1934). Film tersebut, dianggap film penting, dan dokumentasinya ada di Sinematek Belanda.

Tanggal 30 Maret 1950, NV Perfini milik H. Usmar Ismail, menggarap film perdananya "Darah dan Do`a", sebuah kisah berdasarkan peristiwa long march Pasukan Siliwangi dari Yogya ke Jawa Barat, disutradarai oleh Usmar berdasarkan skenario Sitor Situmorang. Karena film tersebut merupakan film yang sepenuhnya digarap oleh warga pribumi, mulai dari produser, sutradara, pemain, dan yang lainnya, maka tanggal pembuatan film tersebut dijadikan sebagai Hari Film Nasional, 30 Maret.

Selanjutnya, kian banyak film warna lokal yang dibuat oleh produser film pribumi, antara lain"Jayaprana", (PPFN), "Damarwulan (Jakarta Film Co), "Turang" (Rofiq/Yayasan Gedung Pemuda- 1957), "Tanjung Katung" (PESFIN Motion Production - 1957), "Gending Sriwijaya" (Dharma Ikatan Artis Nasional -1958), "Bintang Surabaya", "Air Mata Mengalir di Citarum", "Tirtonadi" (1950), "Rahasia Telaga Warna" (1951), "Sepanjang Malioboro" (1952), "Konde Cioda" (1953), "Harimau Campa" (1953), "Lenggang Jakarta" (1953), "Kuala Deli" (1955), "Peristiwa di Danau Toba" (1955), "Serampang Dua Belas" (1956), "Lompong Sagu" (1960), "Macan Kemayoran" (Aries Nusantara Film, 1965), "Jampang Mencari Naga Hitam" (Dewan Film Nasional, 1969).

Cerita rakyat Lutung Kasarung paling banyak dibuat film. Setelah dibuat film pada tahun 1926, dibuat lagi pada tahun 1952, salah seorang pemeran utamanya Tina Melinda. Kemudian pada tahun 1983, Inem Film menggarap kembali kisah dari Tatar Sunda itu dengan pemeran utamanya Enny Beatrice.

Si Kabayan

Film cerita rakyat yang paling populer dibuat film dan sinetron adalah kisah tentang Si Kabayan. Tahun 1960-an, cerita Si Kabayan pernah dibuat gendingkaresmen oleh Mang Koko dan Wahyu Wibisana. Salah seorang pemeran Si Kabayan yang paling populer dalam gending karesemen adalah Tajudin Nirwan.

Ketika dibuat serial untuk televisi, yang dipelopori oleh R. Ading Affandi sebagai sutradara dan penulis naskah, tokoh Si Kabayan saat itu diperankan oleh Abah Us Us, pelawak terkenal dari grup De Bodor. Bahkan sewaktu Si Kabayan dibuat film oleh PT Diah Pitaloka Film, cerita dan skenarionya masih tetap digarap oleh Ading Affandi. Tokoh Si Kabayan diperankan oleh Kang Ibing, yang kemudian mendirikan grup lawak De Kabayan. Film tersebut disutradarai oleh Bay Isbahi. Tokoh Nyi Iteung diperankan oleh Lenny Marlina.

Pada tahun 1989, PT Kharisma Jabar Film melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, menggarap film "Si Kabayan Saba Kota", yang disutradarai H. Maman Firmansyah berdasarkan cerita Min Resmana, skenarionya ditulis oleh saya sendiri. Pemeran Si Kabayan dipercayakan kepada Didi Petet, sedangkan tokoh Nyi Iteung dimainkan oleh Paramitha Rusady. Film tersebut merupakan realisasi dari SKB Tiga Menteri, yang isinya, agar setiap provinsi di Indonesia membuat film berdasarkan cerita dari daerahnya masing-masing.

Film "Si Kabayan Saba Kota" ternyata mampu mencatat rekor sebagai film daerah yang sukses dalam pemutarannya di seluruh Indonesia. Di Jakarta, tercatat sebagai film terlaris ketiga. Bahkan, film tersebut terpilih sebagai Film Komedi Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1990.

Kerjasama PT Kharisma Jabar Film dan Pemda Provinsi Jabar kemudian dilanjutkan dengan membuat film "Si Kabayan dan Gadis Kota", "Si Kabayan dan Anak Jin", "Si Kabayan Saba Metropolitan", dan "Si Kabayan Mencari Jodoh".

Kecuali Jawa Barat, patut dicatat pula film berdasarkan cerita daerah lainnya, misalnya film "Nuansa Birunya Rinjani", "Jeram Cinta" (mengambil lokasi di daerah Dayak/Kalimanta Timur), "Musang Berjanggut", "Latando di Tanah Toraja", "Mutiara dalam Lumpur", "Sanrego", "Malin Kundang", "Kabut di Kintamani", "Virgin in Bali", dll.

Sukses film "Laskar Pelangi" sesungguhnya bisa dijadikan ukuran, bahwa film dengan latar belakang sebuah daerah, memiliki potensi dayatarik komersial. Meskipun sukses film tersebut tak lepas dari sukses novel karya Andrea Hirata, tetapi ciri khas daerah yang diangkat ke layar putih tetap punya potensi untuk terus dikembangkan.

Tradisi sukses film yang menampilkan warna lokal, yang ditunjukkan oleh "Si Doel Anak Betawi", "Si Pitung", "Macan Kemayoran", "Si Kabayan Saba Kota", hingga "Laskar Pelangi", sesungguhnya bisa menjadi patokan salah satu pilihan bagi sekian banyak produser yang terus bermunculan di era reformasi.

Seandainya saja, karya sastra daerah dan cerita rakyat bisa menjadi acuan bagi para produser film, film Indonesia akan diperkaya dengan pesona cerita dengan beragam latar belakang budaya. Jika itu yang berkembang, film Indonesia yang berwarna Indonesia, yakni yang kental dengan warna lokal, akan memberikan identitas yang tegas di mata dunia. Bukankah ketika kita menyaksikan film Jepang atau India, akan tetap merasakan identitas kedua negara tersebut, walaupun ceritanya tentang kehidupan masa kini? Misalnya film India, hampir selalu tak lepas dari ciri khasnya; tari dan nyanyi.

Bangkitnya kembali warna lokal dalam film Indonesia, sesungguhnya sangat bergantung pada keinginan para produser untuk memanfaatkan potensi cerita daerah, baik itu berdasarkan karya sastra atau cerita rakyat. Jika pertimbangannya adalah bisnis, beberapa judul film dengan warna lokal yang kental telah membuktikan mampu menjadi film laris bahkan terlaris, sehingga mendatangkan keuntungan yang luar biasa.

Sayang, kebanyakan produser kurang begitu mengenal khazanah karya sastra daerah. (Eddy D. Iskandar/novelis dan penulis skenario)
Read More..

Mengungkap Masalah Perempuan Lewat Film

LAMPUNG, KOMPAS.com -- Anda yakin mau melakukan pap smear (tes deteksi dini kanker leher rahim)? Anda, kan, masih gadis?”
Kalimat tersebut kemudian diikuti dengan ungkapan-ungkapan lain dari paramedis yang melayani pasien yang ingin memeriksakan kesehatan reproduksinya kepada dokter spesialis. Ungkapan-ungkapan tersebut pada intinya menyulitkan seorang gadis yang belum bersuami untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan reproduksi dari seorang ginekolog.
Akibat sikap paramedis yang menyulitkan, pasien yang kebetulan masih lajang dan memiliki kehidupan seksual aktif urung memeriksakan kesehatan rahimnya kepada dokter spesialis kandungan atau ginekolog.Masalah tersebut ternyata banyak dihadapi perempuan lajang di Indonesia. Di Indonesia, rupanya ada peraturan tidak tertulis, katakanlah semacam persepsi dalam masyarakat, bahwa perempuan lajang atau tidak menikah atau belum menikah adalah mereka yang tidak berhubungan seksual.
Status ”tidak menikah” atau ”belum menikah” tersebut sering kali menjadi kendala ketika para perempuan lajang berusaha memeriksakan kesehatan reproduksinya. Mereka kerap kali terbentur dengan persepsi moral yang dituduhkan oleh pihak ginekolog atau pihak yang berhubungan dengan kebidanan dan kandungan.
Ada lagi persepsi lain dalam masyarakat Indonesia yang terkadang membingungkan. Praktik sunat pada perempuan diterima secara luas oleh masyarakat sebagai upaya untuk ”membersihkan” anak perempuan dari roh jahat.
Sementara dari pandangan agama, sunat pada perempuan perlu dilakukan karena memang diharuskan. Sunat akan mampu membentuk si anak perempuan menjadi perempuan dewasa yang mampu mengendalikan dan mengontrol syahwatnya. Dengan sunat di masa kecil, perempuan itu tidak akan menjadi ”liar” di masa dewasanya.
Padahal, dari aspek kesehatan reproduksi, khususnya dari kalangan dokter ahli kandungan dan kebidanan, sunat perempuan justru akan membuat alat kelamin si anak perempuan cacat, bahkan menjadikan beban bagi si anak perempuan ketika dewasa.
Departemen Kesehatan sendiri pada akhirnya memang melarang praktik sunat pada perempuan tersebut. Dari praktik sunat perempuan, terlihat betul bagaimana konsep kepercayaan di masyarakat dan konteks mengenai sunat perempuan tersebut sudah semrawut. Masyarakat terlihat jelas menelan bulat-bulat praktik yang dipercayai sudah dilakukan sejak dulu kala tersebut.
Masih berhubungan dengan tubuh perempuan. Sebagai masyarakat timur, mitos keperawanan pun acap kali menjadi masalah yang menyudutkan kaum perempuan.
Seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia di Hongkong, misalnya. Dokter ahli kandungan memvonis adanya tumor pada rahimnya setelah ia memeriksakan diri dan mengeluhkan menstruasi yang terus-menerus.
Satu-satunya cara untuk bisa mengeluarkan tumor adalah dengan operasi. Dokter mengeluarkan tumor tersebut melalui vagina si TKW yang mengakibatkan robeknya selaput dara.
Yang menjadi masalah kemudian, calon suami si TKW yang ada di Malang, Jawa Timur, mempertanyakan terus masalah keperawanan si TKW karena operasi tersebut. Pertengkaran pun terus terjadi.
Masalah perempuan lainnya yang terjadi, tetapi justru acap kali dianggap sebagai penyakit masyarakat, adalah menjamurnya prostitusi ilegal. Seperti yang terjadi di Tulungagung, Jawa Timur, para ibu terpaksa menjadi pekerja seks komersial (PSK) demi menghidupi anak-anaknya. Menjamurnya prostitusi ilegal pun tidak serta merta muncul. Kemiskinan menjadi alasan utama munculnya praktik-praktik tersebut.
Tersuarakan di film
Dengan pengisahan di lima lokasi berbeda, empat masalah perempuan tersebut secara jelas terungkap dan tersuarakan melalui antologi film dokumenter berjudul ”Pertaruhan”. Keempat masalah perempuan tersebut digarap apik masing-masing dalam bentuk dokumenter setelah sebelumnya mendalami masalah lewat riset oleh lima sutradara muda, yaitu Uci Agustin, Lucky Kuswandi, Iwan Setiawan, Muhammad Ichsan, dan Ani Ema Susanti.
Empat karya lima sutradara muda tersebut muncul sebagai sebuah karya kolektif dari Workshop Project Change 2008 yang diselenggarakan oleh Kalyana Shira Foundation bekerja sama dengan Hivos. Pelatihan tersebut diikuti 24 pembuat film berbakat yang mendapat pelatihan pembuatan film dokumenter yang mengedepankan isu-isu perempuan.
Nia Dinata, produser antologi film dokumenter ”Pertaruhan” mengatakan, pengemasan isu perempuan dalam bentuk dokumenter ternyata lebih tajam dan lebih lebih mampu mengungkapkan fakta. Penonton pun lebih bisa menerima fakta atau masalah yang diungkapkan, serta menghargainya.
Sementara penggarapan dengan film naratif cenderung berpeluang memunculkan pertanyaan dari penonton, misalnya adanya aspek melebih-lebihkan pada pengadeganan atau ide cerita.
Film ”Pertaruhan” merupakan antologi film dokumenter kedua yang diproduksi Kalyana Shira Foundation. Film antologi pertama ”Perempuan Punya Cerita” telah dirilis di bioskop di Indonesia pada 17 Januari 2008.
Nia mengatakan, sama seperti film antologi pertama, film antologi kedua juga dirilis melalui jaringan bioskop 21 di Indonesia. Adapun pemutaran di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi didasarkan pada kerja sama atau permintaan.
Apresiasi terhadap film dokumenter tersebut sangat tinggi. ”Pertaruhan” menjadi bagian dari ”Women Section” pada Jakarta International Festival (JiFFest) 2008.
”Pertaruhan” juga terpilih sebagai film dokumenter Indonesia pertama yang diputar pada ”Panorama Section” dalam Berlin International Film Festival 2009. Selain itu ”Pertaruhan” juga menjadi bagian dalam ajang Hongkong International Film Festival 2009 untuk ”Reality Bites Section” pada Maret 2009 lalu.
Di Bandar Lampung, pemutaran film antologi ”Pertaruhan” dilakukan Kalyana Shira Foundation bekerja sama dengan Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR. Pemutaran dilakukan mulai Rabu (29/7) hingga Sabtu.
SN Laila, Direktur Lembaga Advokasi DAMAR, mengatakan, ”Pertaruhan” mengingatkan pemerintah berikut instansi-instansinya yang mengurusi masalah perempuan untuk lebih giat lagi mengurusi dan menyelesaikan setiap masalah perempuan.
”Bukan tidak mungkin di Lampung juga terjadi masalah seperti empat masalah dalam film tersebut,” ujar Laila.
Melalui pemutaran film tersebut, pemerintah seharusnya bisa lebih tegas lagi mengapresiasi masalah perempuan dan tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Laila mencontohkan, penutupan prostitusi ilegal bukan cara ampuh menyelesaikan masalah. Namun, pemerintah harus bisa menyelesaikan dari akar masalah, kemiskinan.
Laila mengatakan, pemerintah dan masyarakat pada akhirnya harus memahami bahwa masalah perempuan tidak hanya berkisar pada tindak kekerasan dalam rumah tangga atau perdagangan manusia, tetapi juga masalah-masalah seperti yang terungkap dalam film.
”Di sinilah kami meminta keberpihakan pemerintah dan masyarakat pada masalah perempuan. Kalau perlu, mencari solusi bersama,” ujar Laila. (KOMPAS/HLN)
Read More..

Czech Photographic Avant-Garde 1918-1948 MIT Press

In the years between the two world wars young people in all Western lands threw off the shackles of their Edwardian upbringing and became Modern. They drank cocktails, listened to hot jazz, and, if they were artistically inclined, turned out work that followed dictates issued by the bureaux of modernism in Paris, Berlin, and Moscow. Being a Modernist must have been a bit like belonging to the Boy Scouts or the Young Pioneers: hilarious hijinks balanced with careful adherence to the party line. Obedience and conformity do not become issues when you look at the work of geniuses gravitating to the great cities (although the Parisian Surrealists were especially keen on docility among their ranks), but they are glaring in the provinces.Prague, lately sprung from the AustroHungarian Empire, was a forward-looking place, fervently tuning in signals from the epicenters of coolness north, east, and west. The results of such careful study by photographers are readily apparent in this book Czech Photographic Avant-Garde. There is a great deal of studious imitation-page after sleep-inducing page of photograms-and there is also quite a lot of synthesis of a sort that would have been impossible in the great capitals. You'd have had to be in Prague, pretty much, to co-mingle Surrealism and the Bauhaus, since in the home towns of those movements such miscegenation would have resulted in ostracism and ridicule. Mostly, however, the results of these chemistry experiments wind up as mere dial-a-stylethey have all the oomph of historical pop-music compilations (ten years of Danish punk-funk!), delicious if you were there at the time, assembly-line if you weren't.

The curtain of banality lifts in exact proportion to the cultural specificity of the work. The photograms, the formal studies, the acrobatic nudes, the montages, and a large percentage of the collages all could have been produced sooner or later in Oslo, in Melbourne, in Cleveland, but the street photography could only have been made in Czech cities at that exact time. And where boilerplate modernism results in conviction that is usually less than total-a hilariously misjudged attempt by Bohumil Stasny to replicate Man Ray's famous nude-lit-through Venetian-blinds study of Lee Miller makes the model look like the Michelin Man-engagements with the street forcibly remove the filters of mediation. This is particularly the case with the works grouped here under the heading "Surrealist Photography." The pictures of fairgrounds, shop signs, and board fences have their analogues in the early work of Cartier-Bresson and Alvarez Bravo, but they spring from everyday particulars that couldn't be calculated. Jaromir Funke had an eye for subtle dislocations in otherwise banal prospects-a walker's art that might be descended from Atget. Jindrich Styrsky, who also made some wildly erotic collages, produced series of carnival signs and artifacts that are as laconic and disturbing as the pictures Kertesz and Evans were making at the exact same time. You can add this tome to the stack of books apparently unvisited by an editorial hand. A great deal of the contents seem to have been translated literally, without regard to idiom or sense: e.g. "'An end to illusions from mock-ups of moods!'" Indeed.
Read More..

Skyscraper Cinema: Architecture and Gender in American Film

Recent years have witnessed an explosion of interest in space and place, emanating from the arenas of geography, anthropology, and sociology and permeating gender studies, literary studies, cultural studies, and, increasingly, cinema studies.

The cinema is, of course, a spatial art form. Projected on, or otherwise delivered to, a two-dimensional screen (of whatever size), the cinema creates and manages representational space through framing (which delimits space), editing (which connects discrete or adjoining spaces and/or breaks down a larger space into patts), and movement (which allows the spectator to travel through spaces). Additionally, cinema represents places and spaces. On the one hand, through location shooting and set design, the cinema draws on pre-existing knowledge to represent recognizable places that carry some cultural or historical resonance, such as Rockefeller Center. On the other hand, the cinema creates imaginary, but no less resonant spaces, spaces that signify as types, such as images of the suburban single family home, the nightclub, or the office, or spaces that function as fantasy, such as the Galactic Empire. Whether representing real or fictional spaces, the spaces of cinema are both connotative and denotative; they carry meaning related to class, sexuality, gender, race, nationality, and more. Rather than mere backdrop, space propels and shapes narrative.

Two recent books take up the meaning of space in cinema, and especially issues of sex and gender, by attending to representations of a particular space. Lee Wallace's Lesbianism, Cinema, Space: The Sexual Life of Apartments (Routledge, 2008) and Merrill Schleier's Skyscraper Cinema: Architecture and Gender in American Film (University of Minnesota Press, 2009) examine, respectively, the figure of the apartment and the skyscraper. Taken together, these two books demonstrate the range and appeal of space studies as a way of opening up cinematic texts to new ways of understanding space, ranging from the primarily theoretical or abstract to the more social and experiential.

Where Wallace offers primarily formalist readings of five specific film texts to present a largely theoretical argument for the salience of the apartment as an international post-Stonewall lesbian chronotope, Schleier proffers a wide-ranging socio-historical analysis of the skyscraper, grounding her analysis of a large number of American films from the 1920s to the 1950s amid archival research into architecture, corporate culture, design, women's pulp fiction, self-help business manuals, and ephemeral pop culture.

In Lesbianism, Cinema, Space: The Sexual Life of Apartments, Wallace approaches the space of the lesbian apartment as a cinematic chronotope, Bakhtin's term for the spatio-temporal milieu that governs narrative. In Wallace's account, the temporal dimension of the lesbian apartment is somewhat taken for granted: she is primarily interested in the space of the apartment, not merely as subordinate to narrative, but elevated above character and narrative, to consider "sexuality as being assigned by the cinematic space in which it appears rather than attached to the protagonists that move through it" (49). "Telling the lesbian story," according to Wallace, "seems to require, and no more than minimally, the right location" (31). And she suggests that sometimes, all the lesbian story needs is to bring two women together in the same space. Against more stereotypical assignations of lesbian culture to the spaces of the bar, the school room, the prison and the women's college, Wallace views the apartment as assisting the "possibility of an out lesbian life that is not limited to a subcultural or institutional environment" (11).

Wallace focuses primarily on post-classical, post-Stonewall films, arguing that even after the repeal of the Hays Code, Hollywood took the connotative codes of lesbian representation that had been established to maintain lesbian invisibility and redeployed them to "scaffold homosexual visibility" (30), thus mapping lesbianism through space and visual modes of meaning making rather than speech or a discursive model.

Her analysis begins with William Wyler's 1961 version of The Children's Hour, which she reads as a limit case on Production Code aesthetics to suggest "the continued dependence of lesbian representation on cinematic form and style rather than character and plot" (15). Thereafter, Wallace provides close readings of The Killing of Sister George (Aldrich, 1968), The Bitter Tears of Petra Von Kant (Fassbinder, 1972), Single White Female (Schroeder, 1992), Bound (Wachowski, 1996), and Mulholland Drive (Lynch, 2001). The book deliberately ignores not only homosocial Hollywood narratives, such as How to Marry a Millionaire (Negulesco, 1953) or Golddiggers of 1933 (Berkeley, 1933) that could be read, by Wallace's own logic, as producing a lesbian narrative by virtue of situating two or more women in an apartment, but also largely neglects both commercial and experimental lesbian-themed apartment plots by lesbian directors, such as The Incredibly True Adventures of Two Girls in Love (Maggenti, 1995).
Read More..

Hibah panas makelar pajak

Billy Sindoro tahu betul risiko saat memutuskan menjadi seorang Protestan pada usia 17 tahun. Dia diusir dari rumahnya di Jalan Pemuda 126-128, Semarang, bersama lima saudaranya yang memilih jalan serupa. Selama 6 bulan, mereka tinggal di Gereja Kristen Muria Indonesia, masih dalam kawasan yang sama. Sindoro bersaudara akhirnya menempati sebuah rumah bekas gudang semen di Jalan Kapuran 45, Semarang. Tapi dari bekas gudang itu, kecintaan mereka terhadap Tuhan meluap.Billy Sindoro tahu betul risiko saat memutuskan menjadi seorang Protestan pada usia 17 tahun. Dia diusir dari rumahnya di Jalan Pemuda 126-128, Semarang, bersama lima saudaranya yang memilih jalan serupa. Selama 6 bulan, mereka tinggal di Gereja Kristen Muria Indonesia, masih dalam kawasan yang sama. Sindoro bersaudara akhirnya menempati sebuah rumah bekas gudang semen di Jalan Kapuran 45, Semarang. Tapi dari bekas gudang itu, kecintaan mereka terhadap Tuhan meluap. Read More..

Oh Kadin, alangkah lucunya negeri ini

"Aku ingin jadi koruptor," kata Boy, seorang pencopet yang diikuti koor oleh rekan-rekan seprofesinya. Penonton yang memadati bioskop di Margo City, Depok, akhir pekan lalu kompak tergelak.

Lucunya memang spontan. Setiap adegan melahirkan senyum dan gelak tawa penonton karena diracik oleh sutradara kawakan Deddy Mizwar, anak Betawi kelahiran Kemayoran, yang malang melintang di dunia akting."Aku ingin jadi koruptor," kata Boy, seorang pencopet yang diikuti koor oleh rekan-rekan seprofesinya. Penonton yang memadati bioskop di Margo City, Depok, akhir pekan lalu kompak tergelak.

Lucunya memang spontan. Setiap adegan melahirkan senyum dan gelak tawa penonton karena diracik oleh sutradara kawakan Deddy Mizwar, anak Betawi kelahiran Kemayoran, yang malang melintang di dunia akting.
Read More..

Slamet Rahardjo: Ini Bangsa Mau ke Mana??

Aktor gaek Slamet Rahardjo Djarot mengkritik maraknya gaya kebanci-bancian yang kerap wara-wiri muncul di layar kaca. "Saya melihat di layar televisi kita, kalau tidak kebanci-bancian, sepertinya kok tidak keren," ujarnya.
Pernyataan tersebut dilontarkan Slamet, saat diskusi sekaligus peluncuran program "Bangkit Sinema Nusantara, Tayangan 58 Jam Non-Stop Film Indonesia", yang digelar Astro Kirana, Senin (17/3), di Jakarta. Program ini juga digelar dalam rangka menyambut Hari Perfilman Nasional ke-58, yang jatuh pada akhir Maret 2008.

Slamet mengaku sangat marah, jika ada orang di sekelilingnya yang mencoba menggangu `teman-teman` yang trans-seksual alias banci. "Jangan lah diganggu-ganggu atau diledek-ledek." Menurutnya, apa salah mereka, sehingga harus diganggu. "Saya juga punya saudara yang punya kelainan hormon, jadi nggak perlu lah diganggu-ganggu," tambahnya.

Namun anehnya, kata Slamet, kadang gaya kebanci-bancian yang kerap menjadi ciri khas para kaum trans-seksual tersebut, justru malah dibawa ke layar kaca, lantas ditonton ke seantero Tanah Air, bahkan meluas ke mancanegara. "Saya sebenarnya nggak pernah soal. Tetapi untuk mencari rejeki, di atas seolah-olah seperti mereka yang sedang kesulitan itu, oh my god, itu saya harus mikir dua kali," kata Slamet.

"Ini bangsa mau ke mana?" tanya Slamet.

Menilik pada sejarah karya-karya seni yang menunjukkan kebesaran bangsa Indonesia, Slamet lantas mengambil contoh tokoh perfilman Indonesia, Usmar Ismail. Usmar, kata Slamet, ingin membuat film dengan keindahan budaya bangsanya, tanpa harus meminjam budaya asing, dengan berpegangan pada sastra dan seni di Indonesia.

Contoh yang mudah saja, lanjut Slamet, adalah latar belakang dibuatnya film Darah dan Doa. Film perdana Usmar tersebut, berlandaskan dengan pesan yang jelas, lantaran ia ingin membuat film atas dasar kesadaran nasionalisme, jiwa patriot yang ada dalam dirinya --karena Usmar seorang Mayor, serta dia pernah ikut berjuang.

"Dia ingin bahwa filmnya itu aspirasi rakyat. Kalau tidak aspirasi rakyat ngapain bikin film," kata Slamet.

"Setelah film Darah dan Doa jadi dan dilihat bersama, benar-benar sebuah ungkapan bangsa yang ingin merdeka, dan problem-problem di sekitar bangsa yang baru merdeka."

"Film Indonesia harus memiliki elaborasi yang jelas bahwa sebuah film indonesia harus aspiratif, harus bersumber dari kenyataan --baik seni budaya impor maupun indonesia--, dan harus punya jiwa. Jiwa bahwa sejelek-jeleknya negeri ini, ini adalah negeri ku."

Lalu Slamet kembali mengingatkan sebuah fakta, latar belakang dipilihnya tanggal 30 Maret sebagai Hari Perfilman Nasional. "Tanggal 30 Maret 1950, dijadikan tonggak pertama lahirnya film indonesia. Tanggal itu adalah hari pertama syuting film Darah dan Doa yang disutradarai Usmar Ismail."

Namun seiring berjalannya waktu, kata Slamet, Usmar pun akhirnya pusing juga. Pada intinya, Usmar menyadari bahwa film adalah salah satu bentuk kemasan perdagangan. Kendati sudah mencoba fight melawan Soekarno, justru idealisme sebuah karya film akan tetap hancur ketika dibenturkan dengan industri.

Lesunya industri film Indonesia berlanjut, dan sangat terasa pada tahun 90an. "Film Indonesia mati suri," kenang Slamet.

Imbasnya, lanjut Slamet, begitu terasa pada matinya produktivitas serta kreativitas anak bangsa. "Masyarakat Indonesia menjadi masyarakat penikmat, bukan bangsa pembuat," katanya. Bentuk imbas lainnya juga terasa kental di dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Indonesia. "Lahir bahasa-bahasa seperti cuek, emangnya gua pikirin, atau so what gitu loh. Nasionalisme hilang! Dan sebenarnya, kita tidak perlu heran," katanya. [EL]
Read More..

Film dan Politik Identitas Perempuan

FILM adalah media penuangan imajinasi dan inspirasi dalam skenario pembabakan sesuai dengan narasi tekstual. Ia menjadi unit budaya, sekaligus teknologi penyampai pesan kepada khalayak. Film juga bisa menjadi bagian dari proyek social engineering atau sekadar memantapkan otoritas kultur masyarakat.
Dalam lintasan sejarah dan dialektika, film memiliki fungsi yang berbeda. Ia bisa menjadi komoditas entertainment, sarat pesan edukasi, sekaligus sebagai alat propaganda dari kepentingan kekuasaan.

Saat ini film di Indonesia sedang menuju era keemasan. Produksi film nasional per tahun sejak bangkit kembali di tahun 2001 — dipelopori film pop-remaja Ada Apa dengan Cinta (AADC)— mencapai 50-60 judul.

Namun, mayoritas judul/tema film itu masih menggambarkan kondisi epigonistik dan miskin kreatifitas gagasan. Temanya masih didominasi horor dan percintaan platonis remaja.

Namun ada juga beberapa film yang diproduksi dengan semangat idealis, yang justru menghasilkan apreasi tinggi dari masyarakat seperti Laskar Pelangi, Denias, dan King.

Lantas, bagaimana nasib film yang mengupas eksistensi kehidupan perempuan? Film yang bertema perempuan atau mengeksplorasi posisi, kondisi, keinginan, dan kepentingan perempuan dalam telaah psikologis bisa dibedakan menjadi beberapa hal.

Pertama, tema egokolektif perempuan remaja dengan beragam harapan dan ”tingkah laku”romantika percintaan. Kedua, tema simbolis politik yang menggambarkan rendahnya penghargaan terhadap martabat perempuan. Hal ini dikonstruksi dalam berbagai film horor, di mana para tokoh antagonis (atau protagonis?) yang menjadi ”setan”adalah sosok perempuan.

Ketiga, tema kemuliaan keluarga, di mana perempuan mendapat porsi untuk mengekspresikan kepentingan-aspirasi dalam pembabakan jalan cerita serta klimaks penarasian.

Justru Meledak

Keempat, dan justru meledak, adalah film yang mengupas perempuan dalam kacamata politik identitas. Hal ini terwakili oleh Ayat-ayat Cinta (AAC) dan Ketika Cinta bertasbih, di mana perempuan dijadikan aktor sekaligus ”serdadu”lakon pelaksana dari standar moralitas yang dianggap ideal oleh penulis skenario.

Dalam AAC, perempuan dikisahkan sebagai pencari cinta yang tunduk kepada kebenaran tekstual religi, sehingga harus menerima takdir dalam perkawinan yang poligamis, meski tokoh laki-lakinya (Fahri) seolah meragukan entitas takdir poligamis tersebut.

Sutradara Hanung Bramantyo yang berideologi humanis-universal berhasil mereduksi kepentingan ideologis film AAC yang berbeda dengan pesan moralitas dalam novel Habiburahman El Shirazy.

Sedangkan dalam Ketika Cinta Bertasbih, menguat pesan politik identitas yang mengkristalisasikan moralitas agama yang harus dijalankan perempuan religius.

Perempuan yang religius adalah yang memainkan posisi, kultur, dan amanat sesuai dengan takdir teks keagamaan tanpa reserve. Meski jalan ceritanya menggambarkan indahnya pencarian cinta yang berujung pada perkawinan monogamis, namun identitas ”bermoral” dan ”tidak bermoralnya”perempuan kentara distandarisasi pada penampilan luar, kesantunan bahasa, atau kepatuhan kepada nasihat/ajaran.

Hal ini berbeda dengan pesan Perempuan Berkalung Sorban yang dibintangi Revalina S Temat. Film ini tegas menggambarkan pemberontakan perempuan atas tradisi yang patriarkhis, yang menindas kesetaraan hak perempuan. Atas nama tradisi, perempuan dilarang meneruskan sekolah dan yang paling layak hanya berada dalam posisi domestik.

Tiga Kavling

Boleh dibilang, saat ini mainstream tematik perfilman nasional yang berelasi dengan nasib perempuan terbelah menjadi tiga kavling politik identitas.
Kavling pertama adalah politik identitas pasar. Kavling ini menjadikan film yang mengeksploatasi tubuh perempuan dalam skenario cerita horor, komedi seks, dan drama keluarga sebagai alat kepentingan ekonomi.

Alat ekonomi yang menyesuaikan dengan selera pasar. Pasar yang gemar dengan hantu perempuan yang seksi, perempuan berpakaian terbuka, atau perempuan yang menjadi korban dalam rumah tangga sebagai titik kisah jalan cerita.

Kavling kedua, politik identitas yang menggambarkan eksklusivitas ideologi. Film ini diproduksi berdasarkan roman sastra (novel) atau dibuat berdasarkan naskah lakon dengan pesan moral yang kental, dengan menyetir ukuran (standar) moralitas yang selalu ditempatkan dalam pemahaman oposisi biner. Moral perempuan yang baik selalu digambarkan sebagai tokoh protagonis.

Kavling ketiga, politik identitas kesetaraan gender. Film ini diproduksi untuk kepentingan idealis berdasarkan naskah yang menggambarkan proses resistensi perempuan atas ketidakadilan gender dan penindasan terhadap kaum perempuan.

Meski animo penonton untuk film seperti ini rendah, secara kualitas tema dan penggarapannya lebih unggul daripada film identitas pertama dan kedua. Nilai edukasinya lebih mengena dan masuk dalam logika berfikir penonton yang melihat film bukan sekadar untuk rekreasi, namun juga prokreasi.
Read More..

Urgensi Pendidikan Film

Pendidikan film adalah sarana yang ampuh untuk dapat membantu pelajar memahami hubungan dunia mereka dan dunia lain: nyata dan khayalan. Mendorong kaum muda untuk belajar menonton dan menjadi konsumen kritis dari apa yang mereka lihat: sebuah kemampuan menghargai dan menganalisa film adalah peningkatan kemampuan yang semakin penting di abad 21 ini. Sama pentingnya seperti belajar baca tulis di abad-abad sebelumnya. Sudah seharusnya kita juga membantu anak-anak dan kaum muda menggunakan, menikmati, dan memahami gambar bergerak (film).Film sendiri mempunyai elemen yang sangat banyak. Bukan hanya menyangkut Gambar dan Suara (Visual & Audio), tetapi juga menyangkut drama, sastra (skenario), teknologi tinggi (high-end Tech) , manajemen, kreatifitas, kerjasama, dan aspek lainnya. Bukan hanya urusan teknis, tetapi juga budaya.

Pendidikan film mendorong pembelajaran, pemahaman kritis, perdebatan, dan percakapan tentang film di berbagai isu, dan memberikan anak-anak muda kendaraan kreativitas mereka sendiri.

Kesadaran seperti ini mulai tumbuh di negara-negara maju. Mereka lalu memasukkan kurikulum film di sekolah dan kampus. Juga di berbagai kegiatan ekstra kurikuler. Meskipun gerakan ini belum meluas dan merata. Apalagi di negeri kita yang kebijakan pendidikan film dan aktivitas film masih sangat rendah. Belum mendapat apresiasi yang layak sebagai produk seni budaya. Tetapi itu bukanlah alasan untuk tidak memulainya sejak saat ini.
Read More..

UU Perfilman ditanggapi dengan pesimistis

Menurut Menbudpar, tahun 2008 kita berhasil memproduksi 87 judul film, akhir tahun 2009 ini diperkirakan 95 judul film. "Dengan disahkan RUU Perfilman yang memberi kebebasan para sineas berekspresi serta membuat film non-komersial kita optimis mampu memproduksi 200 judul film per tahun pada 2014 mendatang."Ucapan dan jaminan pemerintah rupanya tak membuat para pelaku perfilman itu menjadi lega. Sebaliknya malah merasa kreativitas mereka akan dikekang oleh sejumlah pasal di dalamnya.

"Pemerintah memang benar-benar tidak belajar dari pengalaman, ketika UU no:8/92 disahkan perfilman Indonesia justru langsung mati suri. UU Perfilman penggantinya juga akan mengalami nasib yang sama karena isinya semua hanya ingin memperlihatkan pemerintahlah sang pengatur," kata sutradara Nia Dinata.

Seperti membaca kitab suci Al-Qur’an kata Nia, seharusnya pemerintah, pers dan para pelaku industri perfilman sendiri mau membaca secara utuh isi UU Perfilman itu, apakah yang tersurat dan tersirat sehingga tidak sekedar menuding MFI hanya berulah dan melawan pemerintah.

Dia menilai dalam membuat RUU tersebut pemerintah menunjukkan ketidakpahamannya pula mengenai bisnis film, pengembangan industri film maupun mekanisme pasar sehingga yang muncul adalah produk undang-undang yang kental dengan pengontrolan bukannya menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat yang menginginkan pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator.

Pemerintah mengharapkan perfilman tumbuh, tapi tidak mementingkan kualitas, kata Nia, akhirnya seperti peribahasa Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan. Film Indonesia ke depan hanya dikejar kuota yang mengabaikan kualitas.

"Bukan tidak mungkin malah ramai dengan film esek-esek (seks) yang akhirnya membuat penonton meninnggalkan film Indonesia sehingga pemerintah bisa kehilangan penghasilan pajak tontonan yang besar dari hadirnya film berkualitas," tandas Nia sambil mengungkapkan wakil rakyat yang terpilih diperiode mendatang agar membahas kembali UU perfilman ini. Mungkinkah ?

Read More..

History of Vespa Congo

There is a phrase that says that "for peace then start a war." Ending a war or conflict in a region other than produce peace, sometimes it was not unexpected. This unexpected fait can be all sorts and even irrational, such as


Read More..