WARNA LOKAL DALAM FILM INDONESIA

PENGERTIAN warna lokal dalam film Indonesia bukan hanya film berdasarkan cerita rakyat di suatu daerah, melainkan juga film yang sepenuhnya menampilkan kultur daerah. Memang ada beberapa film yang melakukan "shooting" di daerah, misalnya di Pangalengan, Bandung, Pangandaran, tetapi tidak ada kaitannya dengan menampilkan unsur kedaerahan dalam pengertian budaya. Jika daerah tersebut dijadikan tempat lokasi, hanyalah untuk memanfaatkan alam atau suasana kota, yang sama sekali tidak bersentuhan dengan kehidupan daerah tersebut.
Berbeda dengan film "Laskar Pelangi" (2008), film terlaris sepanjang sejarah film Indonesia--bahkan terpilih sebagai Film Terpuji dalam Festival Film Bandung 2009--merupakan film yang kental dengan warna lokal. Bukan hanya karena sepenuhnya mengambil lokasi cerita di Belitong, melainkan juga dialeknya, suasana lingkungannya, budayanya, benar-benar membawa penonton larut dalam kisah yang terjadi di Belitong.

Munculnya warna lokal dalam film Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak kehadiran film cerita pertama yang dibuat di Indonesia. Pada tahun 1926, NV Java Film Company, yang berdiri di Bandung, membuat film cerita rakyat Tatar Sunda "Loetoeng Kasaroeng". Bahkan setahun kemudian, G. Krugers, pembuat "Loetoeng Kasaroeng", kembali menggarap film "Eulis Acih", dan "Karnadi Tangkap Bangkong".

Tahun 1928, Tan`s Film milik Tan Bersaudara, membuat film berdasarkan kisah legendaris dari Betawi "Nyai Dasima", yang disutradarai oleh Lie Tek Soei. Kisah lain dari Betawi yang dibuat film berjudul "Si Ronda" (1930) yang disutradarai oleh Bachtiar Effendi dan "Si Pitung" (1932).

Sekitar tahun 1930 - 1942, cukup banyak film Indonesia yang bersumber dari kekayaan cerita daerah atau film yang berlatar belakang budaya daerah. Tahun 1930, Tan`s Film membuat film "Bunga Ros dari Cikembang" produksi Cine Motion Picture yang disutradarai Tan Teng Chun alias Tachjar Ederis. Kemudian muncul film "Rencong Aceh" (1939), "Keris Mataram" (1941), "Ciung Wanara" (1941), "Mustika dari Jenar" (1942), "Nusa Penida" (1942), dan yang lainnya.

Patut dicatat pula sebuah film yang menampilkan pasangan Raden Muhtar asal Cianjur dan R. Sukarsih asal Cikoneng Tasikmalaya, judulnya "Pareh" (1934). Film tersebut, dianggap film penting, dan dokumentasinya ada di Sinematek Belanda.

Tanggal 30 Maret 1950, NV Perfini milik H. Usmar Ismail, menggarap film perdananya "Darah dan Do`a", sebuah kisah berdasarkan peristiwa long march Pasukan Siliwangi dari Yogya ke Jawa Barat, disutradarai oleh Usmar berdasarkan skenario Sitor Situmorang. Karena film tersebut merupakan film yang sepenuhnya digarap oleh warga pribumi, mulai dari produser, sutradara, pemain, dan yang lainnya, maka tanggal pembuatan film tersebut dijadikan sebagai Hari Film Nasional, 30 Maret.

Selanjutnya, kian banyak film warna lokal yang dibuat oleh produser film pribumi, antara lain"Jayaprana", (PPFN), "Damarwulan (Jakarta Film Co), "Turang" (Rofiq/Yayasan Gedung Pemuda- 1957), "Tanjung Katung" (PESFIN Motion Production - 1957), "Gending Sriwijaya" (Dharma Ikatan Artis Nasional -1958), "Bintang Surabaya", "Air Mata Mengalir di Citarum", "Tirtonadi" (1950), "Rahasia Telaga Warna" (1951), "Sepanjang Malioboro" (1952), "Konde Cioda" (1953), "Harimau Campa" (1953), "Lenggang Jakarta" (1953), "Kuala Deli" (1955), "Peristiwa di Danau Toba" (1955), "Serampang Dua Belas" (1956), "Lompong Sagu" (1960), "Macan Kemayoran" (Aries Nusantara Film, 1965), "Jampang Mencari Naga Hitam" (Dewan Film Nasional, 1969).

Cerita rakyat Lutung Kasarung paling banyak dibuat film. Setelah dibuat film pada tahun 1926, dibuat lagi pada tahun 1952, salah seorang pemeran utamanya Tina Melinda. Kemudian pada tahun 1983, Inem Film menggarap kembali kisah dari Tatar Sunda itu dengan pemeran utamanya Enny Beatrice.

Si Kabayan

Film cerita rakyat yang paling populer dibuat film dan sinetron adalah kisah tentang Si Kabayan. Tahun 1960-an, cerita Si Kabayan pernah dibuat gendingkaresmen oleh Mang Koko dan Wahyu Wibisana. Salah seorang pemeran Si Kabayan yang paling populer dalam gending karesemen adalah Tajudin Nirwan.

Ketika dibuat serial untuk televisi, yang dipelopori oleh R. Ading Affandi sebagai sutradara dan penulis naskah, tokoh Si Kabayan saat itu diperankan oleh Abah Us Us, pelawak terkenal dari grup De Bodor. Bahkan sewaktu Si Kabayan dibuat film oleh PT Diah Pitaloka Film, cerita dan skenarionya masih tetap digarap oleh Ading Affandi. Tokoh Si Kabayan diperankan oleh Kang Ibing, yang kemudian mendirikan grup lawak De Kabayan. Film tersebut disutradarai oleh Bay Isbahi. Tokoh Nyi Iteung diperankan oleh Lenny Marlina.

Pada tahun 1989, PT Kharisma Jabar Film melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, menggarap film "Si Kabayan Saba Kota", yang disutradarai H. Maman Firmansyah berdasarkan cerita Min Resmana, skenarionya ditulis oleh saya sendiri. Pemeran Si Kabayan dipercayakan kepada Didi Petet, sedangkan tokoh Nyi Iteung dimainkan oleh Paramitha Rusady. Film tersebut merupakan realisasi dari SKB Tiga Menteri, yang isinya, agar setiap provinsi di Indonesia membuat film berdasarkan cerita dari daerahnya masing-masing.

Film "Si Kabayan Saba Kota" ternyata mampu mencatat rekor sebagai film daerah yang sukses dalam pemutarannya di seluruh Indonesia. Di Jakarta, tercatat sebagai film terlaris ketiga. Bahkan, film tersebut terpilih sebagai Film Komedi Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1990.

Kerjasama PT Kharisma Jabar Film dan Pemda Provinsi Jabar kemudian dilanjutkan dengan membuat film "Si Kabayan dan Gadis Kota", "Si Kabayan dan Anak Jin", "Si Kabayan Saba Metropolitan", dan "Si Kabayan Mencari Jodoh".

Kecuali Jawa Barat, patut dicatat pula film berdasarkan cerita daerah lainnya, misalnya film "Nuansa Birunya Rinjani", "Jeram Cinta" (mengambil lokasi di daerah Dayak/Kalimanta Timur), "Musang Berjanggut", "Latando di Tanah Toraja", "Mutiara dalam Lumpur", "Sanrego", "Malin Kundang", "Kabut di Kintamani", "Virgin in Bali", dll.

Sukses film "Laskar Pelangi" sesungguhnya bisa dijadikan ukuran, bahwa film dengan latar belakang sebuah daerah, memiliki potensi dayatarik komersial. Meskipun sukses film tersebut tak lepas dari sukses novel karya Andrea Hirata, tetapi ciri khas daerah yang diangkat ke layar putih tetap punya potensi untuk terus dikembangkan.

Tradisi sukses film yang menampilkan warna lokal, yang ditunjukkan oleh "Si Doel Anak Betawi", "Si Pitung", "Macan Kemayoran", "Si Kabayan Saba Kota", hingga "Laskar Pelangi", sesungguhnya bisa menjadi patokan salah satu pilihan bagi sekian banyak produser yang terus bermunculan di era reformasi.

Seandainya saja, karya sastra daerah dan cerita rakyat bisa menjadi acuan bagi para produser film, film Indonesia akan diperkaya dengan pesona cerita dengan beragam latar belakang budaya. Jika itu yang berkembang, film Indonesia yang berwarna Indonesia, yakni yang kental dengan warna lokal, akan memberikan identitas yang tegas di mata dunia. Bukankah ketika kita menyaksikan film Jepang atau India, akan tetap merasakan identitas kedua negara tersebut, walaupun ceritanya tentang kehidupan masa kini? Misalnya film India, hampir selalu tak lepas dari ciri khasnya; tari dan nyanyi.

Bangkitnya kembali warna lokal dalam film Indonesia, sesungguhnya sangat bergantung pada keinginan para produser untuk memanfaatkan potensi cerita daerah, baik itu berdasarkan karya sastra atau cerita rakyat. Jika pertimbangannya adalah bisnis, beberapa judul film dengan warna lokal yang kental telah membuktikan mampu menjadi film laris bahkan terlaris, sehingga mendatangkan keuntungan yang luar biasa.

Sayang, kebanyakan produser kurang begitu mengenal khazanah karya sastra daerah. (Eddy D. Iskandar/novelis dan penulis skenario)
0 Responses