FILM adalah media penuangan imajinasi dan inspirasi dalam skenario pembabakan sesuai dengan narasi tekstual. Ia menjadi unit budaya, sekaligus teknologi penyampai pesan kepada khalayak. Film juga bisa menjadi bagian dari proyek social engineering atau sekadar memantapkan otoritas kultur masyarakat.
Dalam lintasan sejarah dan dialektika, film memiliki fungsi yang berbeda. Ia bisa menjadi komoditas entertainment, sarat pesan edukasi, sekaligus sebagai alat propaganda dari kepentingan kekuasaan.
Saat ini film di Indonesia sedang menuju era keemasan. Produksi film nasional per tahun sejak bangkit kembali di tahun 2001 — dipelopori film pop-remaja Ada Apa dengan Cinta (AADC)— mencapai 50-60 judul.
Namun, mayoritas judul/tema film itu masih menggambarkan kondisi epigonistik dan miskin kreatifitas gagasan. Temanya masih didominasi horor dan percintaan platonis remaja.
Namun ada juga beberapa film yang diproduksi dengan semangat idealis, yang justru menghasilkan apreasi tinggi dari masyarakat seperti Laskar Pelangi, Denias, dan King.
Lantas, bagaimana nasib film yang mengupas eksistensi kehidupan perempuan? Film yang bertema perempuan atau mengeksplorasi posisi, kondisi, keinginan, dan kepentingan perempuan dalam telaah psikologis bisa dibedakan menjadi beberapa hal.
Pertama, tema egokolektif perempuan remaja dengan beragam harapan dan ”tingkah laku”romantika percintaan. Kedua, tema simbolis politik yang menggambarkan rendahnya penghargaan terhadap martabat perempuan. Hal ini dikonstruksi dalam berbagai film horor, di mana para tokoh antagonis (atau protagonis?) yang menjadi ”setan”adalah sosok perempuan.
Ketiga, tema kemuliaan keluarga, di mana perempuan mendapat porsi untuk mengekspresikan kepentingan-aspirasi dalam pembabakan jalan cerita serta klimaks penarasian.
Justru Meledak
Keempat, dan justru meledak, adalah film yang mengupas perempuan dalam kacamata politik identitas. Hal ini terwakili oleh Ayat-ayat Cinta (AAC) dan Ketika Cinta bertasbih, di mana perempuan dijadikan aktor sekaligus ”serdadu”lakon pelaksana dari standar moralitas yang dianggap ideal oleh penulis skenario.
Dalam AAC, perempuan dikisahkan sebagai pencari cinta yang tunduk kepada kebenaran tekstual religi, sehingga harus menerima takdir dalam perkawinan yang poligamis, meski tokoh laki-lakinya (Fahri) seolah meragukan entitas takdir poligamis tersebut.
Sutradara Hanung Bramantyo yang berideologi humanis-universal berhasil mereduksi kepentingan ideologis film AAC yang berbeda dengan pesan moralitas dalam novel Habiburahman El Shirazy.
Sedangkan dalam Ketika Cinta Bertasbih, menguat pesan politik identitas yang mengkristalisasikan moralitas agama yang harus dijalankan perempuan religius.
Perempuan yang religius adalah yang memainkan posisi, kultur, dan amanat sesuai dengan takdir teks keagamaan tanpa reserve. Meski jalan ceritanya menggambarkan indahnya pencarian cinta yang berujung pada perkawinan monogamis, namun identitas ”bermoral” dan ”tidak bermoralnya”perempuan kentara distandarisasi pada penampilan luar, kesantunan bahasa, atau kepatuhan kepada nasihat/ajaran.
Hal ini berbeda dengan pesan Perempuan Berkalung Sorban yang dibintangi Revalina S Temat. Film ini tegas menggambarkan pemberontakan perempuan atas tradisi yang patriarkhis, yang menindas kesetaraan hak perempuan. Atas nama tradisi, perempuan dilarang meneruskan sekolah dan yang paling layak hanya berada dalam posisi domestik.
Tiga Kavling
Boleh dibilang, saat ini mainstream tematik perfilman nasional yang berelasi dengan nasib perempuan terbelah menjadi tiga kavling politik identitas.
Kavling pertama adalah politik identitas pasar. Kavling ini menjadikan film yang mengeksploatasi tubuh perempuan dalam skenario cerita horor, komedi seks, dan drama keluarga sebagai alat kepentingan ekonomi.
Alat ekonomi yang menyesuaikan dengan selera pasar. Pasar yang gemar dengan hantu perempuan yang seksi, perempuan berpakaian terbuka, atau perempuan yang menjadi korban dalam rumah tangga sebagai titik kisah jalan cerita.
Kavling kedua, politik identitas yang menggambarkan eksklusivitas ideologi. Film ini diproduksi berdasarkan roman sastra (novel) atau dibuat berdasarkan naskah lakon dengan pesan moral yang kental, dengan menyetir ukuran (standar) moralitas yang selalu ditempatkan dalam pemahaman oposisi biner. Moral perempuan yang baik selalu digambarkan sebagai tokoh protagonis.
Kavling ketiga, politik identitas kesetaraan gender. Film ini diproduksi untuk kepentingan idealis berdasarkan naskah yang menggambarkan proses resistensi perempuan atas ketidakadilan gender dan penindasan terhadap kaum perempuan.
Meski animo penonton untuk film seperti ini rendah, secara kualitas tema dan penggarapannya lebih unggul daripada film identitas pertama dan kedua. Nilai edukasinya lebih mengena dan masuk dalam logika berfikir penonton yang melihat film bukan sekadar untuk rekreasi, namun juga prokreasi.
Dalam lintasan sejarah dan dialektika, film memiliki fungsi yang berbeda. Ia bisa menjadi komoditas entertainment, sarat pesan edukasi, sekaligus sebagai alat propaganda dari kepentingan kekuasaan.
Saat ini film di Indonesia sedang menuju era keemasan. Produksi film nasional per tahun sejak bangkit kembali di tahun 2001 — dipelopori film pop-remaja Ada Apa dengan Cinta (AADC)— mencapai 50-60 judul.
Namun, mayoritas judul/tema film itu masih menggambarkan kondisi epigonistik dan miskin kreatifitas gagasan. Temanya masih didominasi horor dan percintaan platonis remaja.
Namun ada juga beberapa film yang diproduksi dengan semangat idealis, yang justru menghasilkan apreasi tinggi dari masyarakat seperti Laskar Pelangi, Denias, dan King.
Lantas, bagaimana nasib film yang mengupas eksistensi kehidupan perempuan? Film yang bertema perempuan atau mengeksplorasi posisi, kondisi, keinginan, dan kepentingan perempuan dalam telaah psikologis bisa dibedakan menjadi beberapa hal.
Pertama, tema egokolektif perempuan remaja dengan beragam harapan dan ”tingkah laku”romantika percintaan. Kedua, tema simbolis politik yang menggambarkan rendahnya penghargaan terhadap martabat perempuan. Hal ini dikonstruksi dalam berbagai film horor, di mana para tokoh antagonis (atau protagonis?) yang menjadi ”setan”adalah sosok perempuan.
Ketiga, tema kemuliaan keluarga, di mana perempuan mendapat porsi untuk mengekspresikan kepentingan-aspirasi dalam pembabakan jalan cerita serta klimaks penarasian.
Justru Meledak
Keempat, dan justru meledak, adalah film yang mengupas perempuan dalam kacamata politik identitas. Hal ini terwakili oleh Ayat-ayat Cinta (AAC) dan Ketika Cinta bertasbih, di mana perempuan dijadikan aktor sekaligus ”serdadu”lakon pelaksana dari standar moralitas yang dianggap ideal oleh penulis skenario.
Dalam AAC, perempuan dikisahkan sebagai pencari cinta yang tunduk kepada kebenaran tekstual religi, sehingga harus menerima takdir dalam perkawinan yang poligamis, meski tokoh laki-lakinya (Fahri) seolah meragukan entitas takdir poligamis tersebut.
Sutradara Hanung Bramantyo yang berideologi humanis-universal berhasil mereduksi kepentingan ideologis film AAC yang berbeda dengan pesan moralitas dalam novel Habiburahman El Shirazy.
Sedangkan dalam Ketika Cinta Bertasbih, menguat pesan politik identitas yang mengkristalisasikan moralitas agama yang harus dijalankan perempuan religius.
Perempuan yang religius adalah yang memainkan posisi, kultur, dan amanat sesuai dengan takdir teks keagamaan tanpa reserve. Meski jalan ceritanya menggambarkan indahnya pencarian cinta yang berujung pada perkawinan monogamis, namun identitas ”bermoral” dan ”tidak bermoralnya”perempuan kentara distandarisasi pada penampilan luar, kesantunan bahasa, atau kepatuhan kepada nasihat/ajaran.
Hal ini berbeda dengan pesan Perempuan Berkalung Sorban yang dibintangi Revalina S Temat. Film ini tegas menggambarkan pemberontakan perempuan atas tradisi yang patriarkhis, yang menindas kesetaraan hak perempuan. Atas nama tradisi, perempuan dilarang meneruskan sekolah dan yang paling layak hanya berada dalam posisi domestik.
Tiga Kavling
Boleh dibilang, saat ini mainstream tematik perfilman nasional yang berelasi dengan nasib perempuan terbelah menjadi tiga kavling politik identitas.
Kavling pertama adalah politik identitas pasar. Kavling ini menjadikan film yang mengeksploatasi tubuh perempuan dalam skenario cerita horor, komedi seks, dan drama keluarga sebagai alat kepentingan ekonomi.
Alat ekonomi yang menyesuaikan dengan selera pasar. Pasar yang gemar dengan hantu perempuan yang seksi, perempuan berpakaian terbuka, atau perempuan yang menjadi korban dalam rumah tangga sebagai titik kisah jalan cerita.
Kavling kedua, politik identitas yang menggambarkan eksklusivitas ideologi. Film ini diproduksi berdasarkan roman sastra (novel) atau dibuat berdasarkan naskah lakon dengan pesan moral yang kental, dengan menyetir ukuran (standar) moralitas yang selalu ditempatkan dalam pemahaman oposisi biner. Moral perempuan yang baik selalu digambarkan sebagai tokoh protagonis.
Kavling ketiga, politik identitas kesetaraan gender. Film ini diproduksi untuk kepentingan idealis berdasarkan naskah yang menggambarkan proses resistensi perempuan atas ketidakadilan gender dan penindasan terhadap kaum perempuan.
Meski animo penonton untuk film seperti ini rendah, secara kualitas tema dan penggarapannya lebih unggul daripada film identitas pertama dan kedua. Nilai edukasinya lebih mengena dan masuk dalam logika berfikir penonton yang melihat film bukan sekadar untuk rekreasi, namun juga prokreasi.