Aktor gaek Slamet Rahardjo Djarot mengkritik maraknya gaya kebanci-bancian yang kerap wara-wiri muncul di layar kaca. "Saya melihat di layar televisi kita, kalau tidak kebanci-bancian, sepertinya kok tidak keren," ujarnya.
Pernyataan tersebut dilontarkan Slamet, saat diskusi sekaligus peluncuran program "Bangkit Sinema Nusantara, Tayangan 58 Jam Non-Stop Film Indonesia", yang digelar Astro Kirana, Senin (17/3), di Jakarta. Program ini juga digelar dalam rangka menyambut Hari Perfilman Nasional ke-58, yang jatuh pada akhir Maret 2008.
Slamet mengaku sangat marah, jika ada orang di sekelilingnya yang mencoba menggangu `teman-teman` yang trans-seksual alias banci. "Jangan lah diganggu-ganggu atau diledek-ledek." Menurutnya, apa salah mereka, sehingga harus diganggu. "Saya juga punya saudara yang punya kelainan hormon, jadi nggak perlu lah diganggu-ganggu," tambahnya.
Namun anehnya, kata Slamet, kadang gaya kebanci-bancian yang kerap menjadi ciri khas para kaum trans-seksual tersebut, justru malah dibawa ke layar kaca, lantas ditonton ke seantero Tanah Air, bahkan meluas ke mancanegara. "Saya sebenarnya nggak pernah soal. Tetapi untuk mencari rejeki, di atas seolah-olah seperti mereka yang sedang kesulitan itu, oh my god, itu saya harus mikir dua kali," kata Slamet.
"Ini bangsa mau ke mana?" tanya Slamet.
Menilik pada sejarah karya-karya seni yang menunjukkan kebesaran bangsa Indonesia, Slamet lantas mengambil contoh tokoh perfilman Indonesia, Usmar Ismail. Usmar, kata Slamet, ingin membuat film dengan keindahan budaya bangsanya, tanpa harus meminjam budaya asing, dengan berpegangan pada sastra dan seni di Indonesia.
Contoh yang mudah saja, lanjut Slamet, adalah latar belakang dibuatnya film Darah dan Doa. Film perdana Usmar tersebut, berlandaskan dengan pesan yang jelas, lantaran ia ingin membuat film atas dasar kesadaran nasionalisme, jiwa patriot yang ada dalam dirinya --karena Usmar seorang Mayor, serta dia pernah ikut berjuang.
"Dia ingin bahwa filmnya itu aspirasi rakyat. Kalau tidak aspirasi rakyat ngapain bikin film," kata Slamet.
"Setelah film Darah dan Doa jadi dan dilihat bersama, benar-benar sebuah ungkapan bangsa yang ingin merdeka, dan problem-problem di sekitar bangsa yang baru merdeka."
"Film Indonesia harus memiliki elaborasi yang jelas bahwa sebuah film indonesia harus aspiratif, harus bersumber dari kenyataan --baik seni budaya impor maupun indonesia--, dan harus punya jiwa. Jiwa bahwa sejelek-jeleknya negeri ini, ini adalah negeri ku."
Lalu Slamet kembali mengingatkan sebuah fakta, latar belakang dipilihnya tanggal 30 Maret sebagai Hari Perfilman Nasional. "Tanggal 30 Maret 1950, dijadikan tonggak pertama lahirnya film indonesia. Tanggal itu adalah hari pertama syuting film Darah dan Doa yang disutradarai Usmar Ismail."
Namun seiring berjalannya waktu, kata Slamet, Usmar pun akhirnya pusing juga. Pada intinya, Usmar menyadari bahwa film adalah salah satu bentuk kemasan perdagangan. Kendati sudah mencoba fight melawan Soekarno, justru idealisme sebuah karya film akan tetap hancur ketika dibenturkan dengan industri.
Lesunya industri film Indonesia berlanjut, dan sangat terasa pada tahun 90an. "Film Indonesia mati suri," kenang Slamet.
Imbasnya, lanjut Slamet, begitu terasa pada matinya produktivitas serta kreativitas anak bangsa. "Masyarakat Indonesia menjadi masyarakat penikmat, bukan bangsa pembuat," katanya. Bentuk imbas lainnya juga terasa kental di dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Indonesia. "Lahir bahasa-bahasa seperti cuek, emangnya gua pikirin, atau so what gitu loh. Nasionalisme hilang! Dan sebenarnya, kita tidak perlu heran," katanya. [EL]
Pernyataan tersebut dilontarkan Slamet, saat diskusi sekaligus peluncuran program "Bangkit Sinema Nusantara, Tayangan 58 Jam Non-Stop Film Indonesia", yang digelar Astro Kirana, Senin (17/3), di Jakarta. Program ini juga digelar dalam rangka menyambut Hari Perfilman Nasional ke-58, yang jatuh pada akhir Maret 2008.
Slamet mengaku sangat marah, jika ada orang di sekelilingnya yang mencoba menggangu `teman-teman` yang trans-seksual alias banci. "Jangan lah diganggu-ganggu atau diledek-ledek." Menurutnya, apa salah mereka, sehingga harus diganggu. "Saya juga punya saudara yang punya kelainan hormon, jadi nggak perlu lah diganggu-ganggu," tambahnya.
Namun anehnya, kata Slamet, kadang gaya kebanci-bancian yang kerap menjadi ciri khas para kaum trans-seksual tersebut, justru malah dibawa ke layar kaca, lantas ditonton ke seantero Tanah Air, bahkan meluas ke mancanegara. "Saya sebenarnya nggak pernah soal. Tetapi untuk mencari rejeki, di atas seolah-olah seperti mereka yang sedang kesulitan itu, oh my god, itu saya harus mikir dua kali," kata Slamet.
"Ini bangsa mau ke mana?" tanya Slamet.
Menilik pada sejarah karya-karya seni yang menunjukkan kebesaran bangsa Indonesia, Slamet lantas mengambil contoh tokoh perfilman Indonesia, Usmar Ismail. Usmar, kata Slamet, ingin membuat film dengan keindahan budaya bangsanya, tanpa harus meminjam budaya asing, dengan berpegangan pada sastra dan seni di Indonesia.
Contoh yang mudah saja, lanjut Slamet, adalah latar belakang dibuatnya film Darah dan Doa. Film perdana Usmar tersebut, berlandaskan dengan pesan yang jelas, lantaran ia ingin membuat film atas dasar kesadaran nasionalisme, jiwa patriot yang ada dalam dirinya --karena Usmar seorang Mayor, serta dia pernah ikut berjuang.
"Dia ingin bahwa filmnya itu aspirasi rakyat. Kalau tidak aspirasi rakyat ngapain bikin film," kata Slamet.
"Setelah film Darah dan Doa jadi dan dilihat bersama, benar-benar sebuah ungkapan bangsa yang ingin merdeka, dan problem-problem di sekitar bangsa yang baru merdeka."
"Film Indonesia harus memiliki elaborasi yang jelas bahwa sebuah film indonesia harus aspiratif, harus bersumber dari kenyataan --baik seni budaya impor maupun indonesia--, dan harus punya jiwa. Jiwa bahwa sejelek-jeleknya negeri ini, ini adalah negeri ku."
Lalu Slamet kembali mengingatkan sebuah fakta, latar belakang dipilihnya tanggal 30 Maret sebagai Hari Perfilman Nasional. "Tanggal 30 Maret 1950, dijadikan tonggak pertama lahirnya film indonesia. Tanggal itu adalah hari pertama syuting film Darah dan Doa yang disutradarai Usmar Ismail."
Namun seiring berjalannya waktu, kata Slamet, Usmar pun akhirnya pusing juga. Pada intinya, Usmar menyadari bahwa film adalah salah satu bentuk kemasan perdagangan. Kendati sudah mencoba fight melawan Soekarno, justru idealisme sebuah karya film akan tetap hancur ketika dibenturkan dengan industri.
Lesunya industri film Indonesia berlanjut, dan sangat terasa pada tahun 90an. "Film Indonesia mati suri," kenang Slamet.
Imbasnya, lanjut Slamet, begitu terasa pada matinya produktivitas serta kreativitas anak bangsa. "Masyarakat Indonesia menjadi masyarakat penikmat, bukan bangsa pembuat," katanya. Bentuk imbas lainnya juga terasa kental di dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Indonesia. "Lahir bahasa-bahasa seperti cuek, emangnya gua pikirin, atau so what gitu loh. Nasionalisme hilang! Dan sebenarnya, kita tidak perlu heran," katanya. [EL]