Menurut Menbudpar, tahun 2008 kita berhasil memproduksi 87 judul film, akhir tahun 2009 ini diperkirakan 95 judul film. "Dengan disahkan RUU Perfilman yang memberi kebebasan para sineas berekspresi serta membuat film non-komersial kita optimis mampu memproduksi 200 judul film per tahun pada 2014 mendatang."Ucapan dan jaminan pemerintah rupanya tak membuat para pelaku perfilman itu menjadi lega. Sebaliknya malah merasa kreativitas mereka akan dikekang oleh sejumlah pasal di dalamnya.
"Pemerintah memang benar-benar tidak belajar dari pengalaman, ketika UU no:8/92 disahkan perfilman Indonesia justru langsung mati suri. UU Perfilman penggantinya juga akan mengalami nasib yang sama karena isinya semua hanya ingin memperlihatkan pemerintahlah sang pengatur," kata sutradara Nia Dinata.
Seperti membaca kitab suci Al-Qur’an kata Nia, seharusnya pemerintah, pers dan para pelaku industri perfilman sendiri mau membaca secara utuh isi UU Perfilman itu, apakah yang tersurat dan tersirat sehingga tidak sekedar menuding MFI hanya berulah dan melawan pemerintah.
Dia menilai dalam membuat RUU tersebut pemerintah menunjukkan ketidakpahamannya pula mengenai bisnis film, pengembangan industri film maupun mekanisme pasar sehingga yang muncul adalah produk undang-undang yang kental dengan pengontrolan bukannya menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat yang menginginkan pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator.
Pemerintah mengharapkan perfilman tumbuh, tapi tidak mementingkan kualitas, kata Nia, akhirnya seperti peribahasa Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan. Film Indonesia ke depan hanya dikejar kuota yang mengabaikan kualitas.
"Bukan tidak mungkin malah ramai dengan film esek-esek (seks) yang akhirnya membuat penonton meninnggalkan film Indonesia sehingga pemerintah bisa kehilangan penghasilan pajak tontonan yang besar dari hadirnya film berkualitas," tandas Nia sambil mengungkapkan wakil rakyat yang terpilih diperiode mendatang agar membahas kembali UU perfilman ini. Mungkinkah ?
"Pemerintah memang benar-benar tidak belajar dari pengalaman, ketika UU no:8/92 disahkan perfilman Indonesia justru langsung mati suri. UU Perfilman penggantinya juga akan mengalami nasib yang sama karena isinya semua hanya ingin memperlihatkan pemerintahlah sang pengatur," kata sutradara Nia Dinata.
Seperti membaca kitab suci Al-Qur’an kata Nia, seharusnya pemerintah, pers dan para pelaku industri perfilman sendiri mau membaca secara utuh isi UU Perfilman itu, apakah yang tersurat dan tersirat sehingga tidak sekedar menuding MFI hanya berulah dan melawan pemerintah.
Dia menilai dalam membuat RUU tersebut pemerintah menunjukkan ketidakpahamannya pula mengenai bisnis film, pengembangan industri film maupun mekanisme pasar sehingga yang muncul adalah produk undang-undang yang kental dengan pengontrolan bukannya menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat yang menginginkan pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator.
Pemerintah mengharapkan perfilman tumbuh, tapi tidak mementingkan kualitas, kata Nia, akhirnya seperti peribahasa Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan. Film Indonesia ke depan hanya dikejar kuota yang mengabaikan kualitas.
"Bukan tidak mungkin malah ramai dengan film esek-esek (seks) yang akhirnya membuat penonton meninnggalkan film Indonesia sehingga pemerintah bisa kehilangan penghasilan pajak tontonan yang besar dari hadirnya film berkualitas," tandas Nia sambil mengungkapkan wakil rakyat yang terpilih diperiode mendatang agar membahas kembali UU perfilman ini. Mungkinkah ?